Catatan di Hujan Bulan Maret, dan Juli, dan Oktober

Pagi ini, saya bangun sebelum yang lainnya, sebelum burung-burung, sebelum matahari. Jam tiga pagi dari balkon sebuah ruangan lantai lima, dunia sekilas seperti kota mati. Nggak ada orang, nggak ada mobil, nggak ada suara anak-anak berteriak sambil menendang bola di lapangan sebelah.

Hujan semalam sudah reda, tapi aromanya masih terasa. Dedaunan masih meneteskan butir-butir air yang tersisa. Hijau, tenang, dan damai.

Tapi momen pagi seperti ini akan berlalu dengan cepat, lebih cepat dari yang kita duga, lebih cepat dari yang sebelumnya kita kira.

Mungkin, hidup juga seperti itu.

Satu: Maret

Apa yang keren dari tidur jam tiga pagi bagi seorang morning person? nggak ada.

Kalau di sore harinya kamu minum Coffee Misto yang cukup untuk bikin terjaga seharian, akan berbeda sensasinya kalau kamu lakukan itu di sore hari. Efeknya masih terasa sampai malam hari, semakin larut, dan sampai akhirnya kamu sadari kalau dua jam lagi sudah subuh.

Dan waktu antara jam biologis kamu seharusnya tidur, sampai kapan seharusnya kamu bangun — yang kamu bahkan belum tidur, bukan pengalaman yang menyenangkan.

Kamu sudah nggak bisa produktif lagi, jam biologis kamu tahu ini adalah waktunya tidur. Tapi sayangnya tubuh kamu nggak berpendapat sama. Kamu lalu hanya bisa duduk di kursi, mungkin di depan laptop, dan tanpa sadar berakhir dengan melakukan research tentang kucing yang nggak suka mandi. Kamu lalu menutup laptop, dan berganti dengan mencari entertainment lain di smartphone. Sambil sesekali menyandar di kursi, melihat ke langit-langit, dan entah bagaimana otak kamu merasa dinding polos pun jadi terlihat menarik untuk diamati.

Dan kadang, efeknya nggak berhenti sampai keesokan harinya. Dan kamu udah tahu itu harga yang harus dibayar.

Keesokan harinya badan kamu akan lemas, kurang energi hidup, dan itu permulaan. Pemicu efek domino dari banyak hal lainnya yang akan kamu lakukan besok. Tubuh kamu nggak bekerja untuk bisa secara deterministik meyesuaikan apa yang kamu mau. Dan kamu akhirnya menyadari sesuatu: satu hal ceroboh bisa membuat tubuh kita nggak dalam keadaan optimal, dan ini akan membuat hal lainnya untuk ikut jatuh.

Karena seharian lemes berarti nggak bisa melakukan Deep Work, sesuatu yang harus kamu kerjakan dengan penuh konsentrasi. Seharian lemes berarti ibadah pun seperti hanya di sisa-sisa energi. Seharian lemes, makan pun terasa berbeda.

Pada akhirnya target kamu hari itu hanya satu: Bertahan melakukan yang cukup untuk bisa diselesaikan, menunggu untuk nanti malam bisa tidur, dan berharap untuk nggak mengulangi kesalahan itu lagi. Karena beberapa kali saja kalau ini terjadi lagi, akan memicu Burn Out. Dan kamu nggak akan pernah mau itu terjadi.

Bagaimana kita menjalani hari, bagaimana tubuh kita melakukan hal-hal yang sudah menjadi autopilot, adalah hal esensial yang akan mempengaruhi diri kita dalam jangka panjang. Punya workflow yang pas, dan tahu apa yang pantas untuk dilakukan, dan bagaimana melakukannya akan jadi investasi yang sangat berguna.

Yang jadi tantangan adalah, nggak semua orang sama. Satu rutinitas bagi seseorang nggak selalu bekerja se-efektif yang orang lain lakukan.

Untuk membuat gambaran ini lebih menyebalkan adalah: scene tidur nggak baik tadi terjadi bukan satu atau dua kali, dan saya nggak belajar dari situ.

Ini sebenarnya bukan (hanya) tentang kafein dan waktu tidur yang nggak cocok. Ini tentang sebuah cerita yang berkali-kali terjadi, dan pelajaran apa yang harus diambil. Orang bilang pengalaman adalah guru yang terbaik. Tapi sepertinya nggak akan berguna kalau kita nggak menjadi murid yang baik.

Dan pelajaran berharga itu seperti buah, kita nggak bisa merasakan manisnya, sebelum ada keberanian untuk memanjat pohon dan memetiknya. Dan pelajaran ini akan menjadi semakin unik, kalau kamu belum pernah memanjat sebelumnya.

Atau memilih pohon yang salah untuk dinaiki.


Saat ini sudah setahun saya jadi programmer full time dan terjun ke dunia di dalamnya. Ada beberapa hal yang saya sadari:

Pertama, seiring berjalannya waktu, ada semakin banyak yang saya ingin pelajari, dan semuanya menarik.

Kedua, saya nggak bisa mendalami itu semua, senggaknya nggak di saat yang sama.

Ketiga, saya harus memilih dimana saya akan fokus. Satu hal yang diperdalam. Dan memulai semuanya dari situ.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Fokus. Dan jujur, fokus dalam satu hal dalam jangka waktu yang lama, adalah skill yang masih harus saya asah.

Saya akhirnya melakukan sebuah eksperimen sejak April 2016 ini:

Tinggal di jakarta dan hidup semi nomaden. Pindah kosan dalam periode waktu tertentu. Mencoba tinggal di satu lingkungan ke lingkungan yang lain.

Sambil mencoba mencari tahu, hal-hal yang sebelumnya saya lakukan secara autopilot, dan melakukannya dengan lebih baik. pertanyaan-pertanyaan seperti: jam berapa harus berangkat kerja, jam berapa harus pulang, kapan harus tidur dan jam berapa harus sudah bangun, lalu apa yang pertama dilakukan setelah itu.

Dari sana saya membuat Decision Journal, yang merekam apa pilihan yang diambil, dan mengevaluasi efektifitasnya.

Goalnya: bikin checklist, untuk morning routine dan evening routine. Dan harapannya itu bisa jadi basis workflow saya dalam jangka panjang.

Jadi Nas, lebih dari 8 bulan eksperimen di Jakarta, untuk membuat checklist?

Iyap.

Beneran?

Iyap.

Semua ini untuk bikin checklist?

Iyee.

Untuk membuat ide ini nggak terdengar aneh, saya cerita sedikit tentang benda bernama checklist ini.

Perkenalan dan obsesi saya terhadap checklist bermula saat saya membaca sebuah artikel di The New Yorker oleh Atul Gawande, seorang ahli bedah dan professor di Harvard t.H. Chan School of Public Health.

Dalam artikel yang bikin merinding itu, Gawande menceritakan sedikit tentang kehidupan, prosedur kompleks, dan proses dramatis yang terjadi dalam ruang I.C.U.

Premis utamanya: Volume dan kompleksitas pengetahuan yang ada saat ini sudah melampaui kemampuan seorang invidivu untuk mengelola secara konsisten dan tanpa kesalahan — meskipun teknologi yang ada semakin maju. Apalagi untuk bidang yang tujuan utamanya adalah membantu orang sakit untuk sembuh, ini sangat krusial, dan sensitif.

Di artikel itu, Gawande menawarkan sebuah cara sederhana: Checklist.

Singkat cerita, dibuatlah sekumpulan list yang harus dilakukan dari awal sampai akhir dalam sebuah prosedur pembedahan, sebelum sampai proses itu dilakukan. Sedetil mungkin. Ditambahkan juga pengkodean menggunakan warna, misalnya merah untuk tahap-tahap kritikal dan perlu dilakukan sebelum langkah lain dilakukan, dan lain-lain.

Termasuk tahap-tahap standar operasional yang para dokter sudah hafal di luar kepala. Inilah kenapa awalnya banyak pihak yang nggak setuju, mereka yakin ini hanya membuang-buang waktu, dan nggak akan ada perbedaan signifikan.

Yah, begitulah adanya.

Entah kenapa sebagian besar orang memang merasa menggunakan checklist itu, memalukan. Mungkin ini bertentangan dengan gambaran yang selama ini ada tentang orang-orang hebat yang ada dipikiran kita: mereka yang bisa menangani situasi kompleks dan menyelesaikannya begitu saja, lancar, seakan sedang berimprovisasi dengan sempurna. Bukan mereka yang punya protokol, apalagi dafter periksa.

Atau mungkin gambaran heroik yang kita punya inilah, yang seharusnya diubah.

Karena checklist — ide sederhana ini, menghasilkan nilai yang cukup membuat banyak orang awalnya nggak percaya: Angka kematian berkurang 40%, dan komplikasi menjadi sepertiga-nya. Nggak lama kemudian metode ini di sosialisasikan ke lebih banyak rumah sakit. Pada tanggal 25 juni 2008, WHO pun ikut berkolaborasi dan mempublikasikan The Who Surgical Safety Checklist, yang saat ini digunakan secara luas.

who

Dalam bukunya, “Checklist Manifesto”, Atul Gawande memberi gambaran lebih detil bagaimana checklist ini dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang, nggak hanya kedokteran. Dari mulai bagaimana seorang arsitek gedung pencakar langit merencanakan dan mengerjakan project, sampai bagaimana seorang pilot menerbangkan pesawat tempur dengan ruang kontrol rumit.

Kalau checklist ini bisa menyelesaikan hal-hal serumit itu, mungkin akan efektif juga kalau digunakan untuk hal-hal yang lebih sederhana, misalnya membuat rutinitas harian yang esensial.

Sejak saat itu, saya hampir membuat checklist dalam banyak hal. Senggaknya untuk sesuatu yang butuh lebih dari 10 menit untuk dikerjakan.

Lambat laun, checklist membuat saya melihat berbagai macam problem dengan lebih menarik. Cukup untuk membuat saya akhirnya meyakinkan diri — pada suatu sore di bulan maret itu, untuk mengikat tali sepatu, mengemas barang dan pakaian, lalu pindah ke Jakarta melakukan sebuah eksperimen ala Tim Ferris, dan harus menghasilkan sesuatu.

Dua: Juli

Fast forward ke tiga bulan kemudian, dan saya masih di Jakarta, sambil mencoba mencoret salah satu baris di bucket list tahun ini: Mengunjungi tempat-tempat tertentu yang belum pernah, atau sudah lama nggak saya kunjungi. Tempat-tempat ini bervariasi, dari mulai lembaga amal sosial, masjid, komunitas, sampai museum.

Awalnya terketuknya ide ini sejak HONY (Humans of New York) jadi tren tiga tahun yang lalu: seseorang membawa kamera, berbicara ke random orang di New York dan mengambil foto mereka.

Cool. Saya juga pengen mencoba melakukan itu, mungkin mulai dari yang dekat dulu aja. Karena saya belum jago memotret, goalnya sesimpel hanya untuk berkunjung, mengenal orang-orang disana, dan mencoba mendengar kisah mereka. Nggak perlu rumit dan spesifik, sesederhana menanyakan, “apa kabar pak/ibu?” dan membiarkan setelahnya berlanjut dari situ. Atau nggak. Yang penting ngomong, itu aja.

Ternyata, agak sulit melakukan project seperti ini kalau kamu disaat yang sama sedang kerja full time. Jadi, saya coba lakukan ini di sela-sela waktu yang ada. Kadang di sore hari yang berarti saya harus berangkat kerja lebih pagi, atau di waktu weekend.

Dari sana, beberapa pertemuan terjadi. Dari satu orang ke satu orang yang lain. Dari satu kisah sederhana, ke kisah yang lain. Dan beberapa diantaranya membawa kesan yang unik.

Misalnya ada seorang bapak bernama Suharsono yang saya temui di Masjid Istiqlal, seusai shalat ashar sore itu. “Masih ada ibu di rumah?” Tanyanya pada saya.

“Iya pak”

“Harus bersyukur ya dek.. Berbakti sama ibu, banyak doakan selagi masih hidup..” Kata pak Suharsono seolah sedang menasihati seseorang yang udah lama dia kenal.

Pak Suharsono beusia hampir kepala enam, Ia merantau ke Jakarta baru beberapa bulan, dan disini pak Suharsono bekerja apa saja yang bisa dia kerjakan. Ijazah pendidikan tertingginya yang hanya sampai SMP, menjadi alasan utama bapak ini nggak punya banyak pilihan.

Saya dan pak Suharsono ngobrol hal-hal ringan. Tentang panasnya Jakarta, tentang tangan kirinya yang sulit digerakkan — karena pernah kecelakaan, juga tentang bagaimana cara berjualan bakso, profesi terakhirnya.

Ternyata kecelakaannya terjadi saat berjualan bakso, tapi pak Suharsono bercerita dengan santai, sambil tersenyum dan sesekali tertawa pelan. Ada memori yang membuatnya terbang ke masa itu, dan membuatnya merasa nyaman, nostalgia. Meskipun karena berjualan bakso itu, tangannya jadi luka.

Namun ketika berbicara tentang keluarga senyumnya meredup, matanya seketika berair, lalu berusaha kembali untuk tersenyum. Seolah ada sesuatu yang ia ingin genggam, tapi benda itu sudah terlalu jauh untuk dikejar, dan semakin lama semakin jauh untuk dilihat.

Anaknya empat. Yang paling besar sudah mulai bekerja, tapi nggak cukup untuk bisa membantu keluarganya saat ini. Setiap hari ia dan istrinya berjuang demi keluarga yang mereka bangun sejak lebih dari 20 tahun yang lalu.

Untuk kemudian bangun di esok pagi dan melakukan hal yang sama sekali lagi: memastikan keluarganya bisa bertahan satu hari lagi. Satu hari lagi, untuk bisa mastikan anak-anak mereka nggak kekurangan makanan. Satu hari lagi, untuk melihat anak-anaknya bisa pergi sekolah. Satu hari lagi, untuk bisa bertahan hidup.

Dan tanpa terasa waktu berjalan semakin cepat, menggigit perlahan kekuatan pak Suharsono untuk sedikit lebih lemah. Tapi pak Suharsono berusaha nggak menampakkan itu. Ia ingin tetap kuat. Setidaknya untuk bisa terlihat seperti itu, dan bilang pada keluarganya ketika pulang ke rumah, bahwa semuanya baik-baik saja.


Di kesempatan lain, saya bertemu dengan dengan seorang wanita, kira-kira umur akhir 20-an disebuah koridor saat saya sedang membaca buku. Dia berjilbab, tapi nggak begitu rapi karena hanya sekedar menutup kepalanya saja, yang sebenarnya belum begitu tertutup juga.

“Mas, boleh minta tolong nggak?” Tanyanya pelan, “boleh minjem nggak… hmm.. buka instagram?”

Saya berusaha mencerna apa yang baru aja terjadi.

Seperti selayaknya manusia normal, saya bingung dengan apa yang baru saya dengar.

Orang asing yang bertanya jam berapa, atau meminjam HP untuk nelpon itu satu hal. Tapi kalau mereka tiba-tiba datang dan minta tolong buka instagram, ini mungkin nggak akan terjadi lagi di masa depan.

“Untuk apa mbak?” Tanya saya.

“Mau ada profil yang mau saya lihat aja.. Ada update atau nggak..”

Jawabannya kurang meyakinkan dan lebih ke mencurigakan, tapi saya nggak punya cukup alasan berkata tidak. Mungkin dia benar-benar sedang butuh. Siapa tahu. Saya juga jadi penasaran. So, I gave her the benefit of the doubt.

Dia minta tolong untuk dicarikan profil seseorang, yang ternyata adalah artis. Nggak begitu saya kenal, tapi saya familiar dengan wajahnya yang pernah muncul di acara-acara tv, dulu. Entah sekarang.

Sebut saja nama perempuan itu, Maya. Dia baru saja sampai di Jakarta, setelah perjalanannya yang panjang dari Lampung bersama beberapa temannya yang sedang mencari makan di luar. Dan tentang urusannya dengan artis tadi, ternyata soal masalah keluarga. Masalah yang sepertinya cukup penting, senggaknya cukup penting untuk membuat dia nekat melintasi pulang untuk bertemu satu orang itu.

Maya hanya bermodal alamat terakhir, dan sebuah informasi bahwa artis tadi akan hadir di sebuah acara nggak jauh dari situ. Masalahnya dia belum seratus persen yakin. Saya tanya apa dia punya kontak artis itu. Dia jawab iya, tapi itu dua tahun yang lalu dan nomornya sudah diubah.

Iya, ini semakin mirip cerita pilot dari sebuah serial drama.

Dan saya juga sadari nggak mudah bagi saya untuk percaya saat seseorang menceritakan sesuatu yang nggak biasa seperti itu. Apalagi ini Jakarta.

Sampai akhirnya, dia bilang tentang apa yang sudah dia coba lakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan baik. Kapan konflik itu dimulai, dan apa yang udah dia lakukan sejauh ini. Dia juga bertanya tentang gimana cara menemui artis, agensi tempat dia bekerja.. Yang saya sendiri nggak banyak tahu.

Yang pada akhirnya, memang nggak banyak yang bisa saya jawab, termasuk saat dia menunjukkan alamat rumah terakhir artis itu. Saya hanya bisa bantu dengan menunjukkan arah tempat terdekat yang mungkin bisa membantu dia kesana.

Dua temannya datang. Dia bilang terimakasih. Sebelum pamit dan berbalik, dia akhirnya bilang apa yang paling mengganggu pikirannya.

“Kadang saya masih ragu.. Apa saya mau lanjut menyelesaikan ini atau nggak..” Katanya sambil menundukkan kepala. Seakan ada kegelisahan dan ketakutan dari apa yang akan dia bilang selanjutnya.. “Orang nggak akan percaya”

Dia sudah mencoba hal yang sama sebelumnya, untuk mencoba menyelesaikan persoalan perdata ini melalui jalur hukum, sesuai hak sebagai warga negara yang dia punya. Tapi waktu itu nggak berakhir dengan baik, dan dia takut itu terulang lagi.

“Kalau ini hak yang memang menurut mbak layak diperjuangkan, lanjutin. Mbak berhak untuk mendapat keadilan, dan entah berhasil atau nggak, mbak akan tau kalau udah mencoba, dan yang penting mbak melakukan apa yang harus mbak lakukan..” Hanya itu yang bisa saya respon, “selanjutnya hanya bisa tawakkal..”

Dia menghela nafas, lalu mengangguk. Saya malah jadi sebaliknya, takut kalau barusan salah ngomong. Semoga nggak.


Pada tahun 1943, seorang psikologis bernama Abraham Maslow mempublikasikan papernya yang paling berpengaruh, “A Theory of Human Motivation” yang terkenal dengan teori bahwa manusia mempunyai hierarki kebutuhan. Kita temukan ini di berbagai textbook dalam gambar sebuah piramida.

Paling bawah adalah kebutuhan dasar kita — yang esensial untuk bisa membuat manusia bertahan hidup (makanan, air, dan udara) dan rasa aman. Di atasnya adalah kebutuhan untuk rasa memiliki dan kasih sayang. Lalu diatasnya lagi adalah kebutuhan akan penghargaan, untuk mendalami bidang ilmu dan keahlian, untuk bisa diakui dan dihargai. Dan yang paling atas, adalah kebutuhan untuk “aktualisasi diri”, keinginan yang terus menerus untuk bisa mencapai ideal dan memenuhi potensi yang ada.

Maslow menganggap bawa rasa aman dan beratahan hidup tetap menjadi fondasi utama kita dalam hidup sampai kapanpun. Termasuk di titik ekstrim, saat hidup nggak lagi memberi banyak pilihan, saat fisik sudah rapuh, menua dan tidak berdaya.

Tapi realitas yang kita temui lebih kompleks dari itu. Pada masa tertentu, kebutuhan manusia bisa berubah. Dan beberapa orang memperlihatkan bahwa mereka mau mengorbankan rasa aman dan kenyamanan, untuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih bernilai, lebih besar bagi diri mereka, keluarga, negara, atau keadilan.

Misalnya pak Suharsono dan mbak Maya.

Bagi pak Suharsono, pergi tidur saat ia bisa memastikan bahwa anak-anaknya bisa makan hari ini, masih bisa sekolah dan bermain.. cukup membuat hidupnya lengkap. Atau mbak Maya, yang hanya ingin mendapat keadilan, dan memperjuangkan itu. Walau di depan, belum ada kepastian yang berarti.

Kita mungkin nggak dalam kondisi yang sesulit pak Suharsono, atau punya masalah hidup yang sekompleks mbak Maya. Terutama saat kita masih muda. Saat kita bisa melakukan kesalahan-kesalahan, tanpa perlu takut, karena akan selalu ada tempat untuk pulang.

Tapi beberapa orang nggak punya titik aman itu.

Dan dengan bertemu orang-orang seperti pak Suharsono, atau mbak Maya, saya menyadari bahwa orang yang belum kita kenal, memang nggak mudah untuk saling percaya. Tapi ketika kita berbagi apa yang kita pikirkan dengan jujur, orang lain akan mencoba berkomunikasi dengan jujur juga.

Dan kemudian, saya bertemu Ahmad.

Tiga: Oktober

bridge

Ada orang-orang yang dengan kehadirannya bisa mengubah imajinasi. Sebagian dari mereka bisa kita temukan di tempat-tempat yang nggak biasa. Kadang terpencil, terisolasi, dan sulit ditemui.

Sebagian lagi bisa ditemui sehari-hari, tapi kita nggak menyadarinya. Setidaknya sampai kita mengenal mereka dengan lebih dekat. Dan ketika itu terjadi, tanpa sadar kita melihat dunia dengan cara yang nggak sama lagi.

Saya bertemu Ahmad ketika sedang mengikuti kajian minggu pagi di sebuah yayasan pendidikan islam, Al Ghazali, di Bogor. Yayasan ini dibangun oleh ulama, sastrawan, pendidik, yang juga pejuang kemerdekaan, Mama KH Abdullah bin Nuh. Agenda kajian mingguan ini sebenarnya sudah ada lama sejak beliau mengajar, dan setelah beliau wafat, anak dan muridnya yang melanjutkan.

Kalau melihat sekilas, mayoritas yang menghadiri pengajian ini bapak-bapak yang setidaknya berumur 30 tahunan keatas. Nggak banyak anak muda disini, apalagi remaja. Beberapa anak kecil terlihat berlarian sambil menunggu ayah ibunya selesai mengikuti pengajian. Mengingatkan waktu saya masih SD, saat pertama kali bapak mengajak saya ke tempat ini juga.

Bapak waktu itu bilang, Hati itu makanannya ilmu, kalau nggak dikasih ilmu, lama-lama dia akan mengeras. Itulah pentingnya kita untuk terus belajar agama, karena kita butuh itu.

Saya masih 9 tahun, belum mengerti bahkan setengah dari makna kalimat tadi. Yang pasti saya tahu bahwa itu bermanfaat, dan sepulang dari sana saya bisa beli kue topi.

Dan waktu itu, dibanding mendengar kajian saya pikir berjalan-jalan sekeliling sekolah SD Al Ghazali — yang berada dekat dari situ, lebih menarik. Sambil menunggu pengajian selesai, saya melihat-lihat laboraturium IPA yang dipenuhi tanaman, beberapa binatang amfibi, dan reptil yang diawetkan. Awal mula yang waktu itu membuat saya suka Biologi.

Sepuluh tahun berlalu.

Saya sudah lupa kapan terakhir kali mengikuti kajian minggu pagi disini. Dan untuk itulah saya kembali kesini lagi, selain bagian dari “project ngebolang” yang sedang saya lakukan, juga karena memang mau mencoba rutin mengikuti kajian ini lagi.

Minggu pertama, minggu kedua, saya selalu nggak kebagian tempat di dalam majelis. Jadi biasanya saya akan ada diluar, duduk di koridor-koridor sekitar, bersama yang lain yang juga nggak kebagian tempat di dalam.

Termasuk di minggu pagi itu, ketika saya duduk di dekat seorang berkemeja panjang dan memakai jam tangan hitam, sambil mendengarkan materi dengan serius. Tangan kanannya menggenggam sebuah buku catatan, dan sesekali menulis di atasnya. Yang sedikit berbeda dengan yang lainnya adalah, dia masih muda, seumuran anak kuliah.

Sepuluh menit kemudian, ada jeda sebentar pergantian pemateri. Kajiannya selanjutnya memahas kitab Minhajul Abidin, terdengar suara dari dalam. Bapak punya buku ini di rumah, Minhajul Abidin, salah satu karya legendaris Imam Al-Ghazali yang ditulis lebih dari 800 tahun yang lalu setelah Ihya Ulumuddin — yang juga sangat fenomenal.

“Assalamualaikum..” sapa anak muda di samping saya tadi, “Baru ya disini?”

“Waalaikumsalam. iya, baru empat minggu..” jawab saya. Anak muda itu wajahnya cerah, dengan senyum yang pas dan nada bicaranya sopan. Kurang dari 5 detik kemudian, saya mengulurkan tangan dan mengajaknya berjabat tangan.

“Oh ya, saya Anas”

“Ahmad..” ucap Ahmad. Jabat tangannya erat.

Setelah itu kami sempat mengobrol tentang pengajian di Al Ghazali. Disini, kajian untuk umum ternyata ada tiga kali, hari jumat, sabtu, dan minggu. Jumat dan sabtu hanya sampai jam tujuh pagi, kalau hari minggu sampai jam delapan pagi.

“Mulainya abis subuh?” tanya saya. Biasanya sehabis shalat subuh, di beberapa masjid sering ada kajian juga soalnya.

“Jam 6 pagi kok” jawab Ahmad. “termasuk yang hari jumat dan sabtu.”

Pantesan saya selalu nggak kebagian tempat di dalam. Empat minggu ini saya datang paling awal jam tujuh pagi.

Setelah itu kami mengobrol tentang masing-masing beberapa saat. Sekilas nggak ada yang spesial dari Ahmad dibanding dengan banyak anak-anak kuliahan lainnya.

Nggak sampai saya tahu kalau dia kuliah dengan biaya sendiri, sambil bekerja. Dan setelah dua minggu mengenal Ahmad, saya tahu sedikit lebih dalam tentang kehidupannya.

Saat ini Ahmad belajar di jurusan psikologi, dan sudah tahun ketiga. Setelah pulang kuliah, setidaknya 3 kali seminggu, Ahmad akan melakukan perjalanan satu jam dari kampusnya ke sebuah kawasan kecil di kabupaten Bogor, dan mengajar les anak-anak SD disana matematika dan IPA.

Dari pada anak-anak disana main di jalan-jalan kan bahaya, lebih baik belajar matematika aja.. Kata Ahmad polos.

Upah Ahmad mengajar anak-anak SD nggak menentu, karena dia juga nggak memungut biaya. Tapi beberapa orang tua murid ingin memberi Ahmad bayaran. Bagi mereka Ahmad bukan hanya membantu membuat anak-anak jadi bisa belajar, tapi juga menyelesaikan masalah mereka yang bingung karena anak-anak mereka sering main jauh dari rumah, apalagi di sore hari. Akhirnya Ahmad memberi kartu bayaran sederhana ke setiap Anak, tapi nggak mencantumkan berapa yang harus dibayar maupun ketentuan kapan harus bayaran. Nggak ada paksaan.

Tapi tetap, para orang tua biasanya memberi bayaran, dan jumlahnya bervariasi. Bagi Ahmad itu cuman bonus saja, karena niat awalnya hanya mau membantu.

Di waktu luangnya hari sabtu dan minggu, Ahmad kadang menjadi volunteer di acara-acara sosial dan agama. Dia tipe orang yang nggak suka punya terlalu banyak waktu menganggur, kontras dengan banyak gambaran ideal anak-anak muda gaul yang digambarkan media.

Ahmad punya selera tersendiri dalam bepakaian: rapi dan sopan. Itu aja. Dia juga nggak akan ganti sepatu sebelum yang saat ini dia pakai solnya sudah tipis, atau kalau ada bagian telapak kakinya yang sudah merasakan sentuhan tanah. Kebiasaan lama katanya.

Di kampus, Ahmad selalu mengambil jumlah SKS paling maksimum tiap semesternya. Sementara lambat laun, kegiatan mengajarnya pun semakin jadi hal rutin. Belum lagi bekerja. Satu-satunya tempat rutin favorit dia adalah perpustakaan.

Dengan semua kesibukan ini, sesampainya di kosan Ahmad langsung bersiap-siap untuk tidur. Dan setelah bangun, dia akan memulai kegiatan-kegiatannya lagi.

Nggak nonton The Walking Dead. Nggak main game. Nggak nonton TV. Cuman Belajar. Kerja. Mengajar. Ngaji.

Membosankan?

Mungkin terlihat seperti itu. Tapi coba pikirkan sekali lagi:

Ahmad dari luar mungkin nggak terlihat keren. Dia nggak punya akun media sosial. Nggak tahu film Marvel terbaru minggu ini, atau apa fitur terbaru iPhone yang diluncurkan apple dua bulan yang lalu.

Yap, ahmad bukan sosok metroseksual. Dia nggak punya banyak waktu luang. Kalau pun ada, dia akan ke masjid dan berlatih hafalannya, atau mendengarkan kajian, atau mengobrol dengan yang sedang ada disana, atau ratusan hal lainnya yang sebenernya bisa kita lakukan juga kalau mau berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan memperbaiki diri.

Ahmad mungkin nggak terlihat ideal dibandingkan banyak anak muda yang divisualkan media. Tapi saat yang lain masih bergantung dengan orang tua, ahmad sudah bisa mandiri. Dia mungkin nggak eksis di media sosial, tapi saat lingkungan sekitarnya punya masalah, dia ada disana dan memberi solusi. Pilihannya belajar psikologi pun, mungkin awalnya dari situ.

Dan disaat teman seumurannya yang lain berusaha mereplikasi gaya idola selebriti-nya masing-masing, ahmad sudah melangkah jauh lebih dari itu.

Dia sudah belajar menjadi laki-laki: Independen, kontributif, dan produktif.

Tentang Sebuah Cerita

Hal yang menjadi alasan kenapa anak muda adalah seakan terdengar lebih menonjol adalah, karena media lebih getol menggambarkan sosok ini, jauh lebih sering dibanding orang tua ataupun anak kecil. Anak muda lebih mudah dipengaruhi.

Mereka cenderung lebih mudah mengeluarkan uang, dan nggak perlu pertimbangan rumit untuk itu. “Karena yang lain juga beli” udah lebih dari cukup. Dan puff, tabungan sebulan habis, defisit malah, karena minjem ke orang lain (inget masa kuliah?).

Dan lagi adalah, yang paling sering kita lupa, mungkin tentang mengingat mati. Bahwa waktu yang kita punya semakin berkurang, dan nggak tahu kapan itu habis.

Joanne Lynn, peneliti yang familiar dengan topik “menjelang kematian” pernah mengobservasi, dan bilang, “orang-orang secara umum mengalami momen datangnya penyakit-penyakit yang mengancam hidup, sama seperti saat mereka mengalami cuaca buruk — sebagai sesuatu yang datang tiba-tiba, dan nyaris tanpa peringatan. Lalu selanjutnya, kamu bisa melewatinya atau nggak” Redaksinya sedikit saya sesuaikan, tapi intinya gitu.

Apalagi sekarang kita punya internet.

Sejak social media menjadi hal umum, semua orang seakan memegang korporasi sebuah brand masing-masing, yang masif, dan harus dikontrol setiap hari. Sebagian orang malah rela melakukan apapun, untuk terus bisa terlihat lebih populer dibanding yang lain.

Dan dengan banyak entertaiment yang semakin memberi pilihan, kita nggak punya waktu untuk untuk mengistirahatkan sejenak daya perhatian kita. Dan lambat laun, kita lupa untuk merasa bosan, karena saat ini entertainment dalam jumlah yang nggak terbatas ada dalam jarak satu klik dari tangan kita. Diakui atau nggak, itu mengubah cara manusia menjalani kehidupan sehari-hari.

Kalau sebenarnya semua aplikasi social media ini, hanya sebuah produk. Benda-benda yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan swasta, yang didanai dengan masif, yang di-engineer dengan detail untuk membuat kita tetap ada disana, dan dipasarkan dengan hati-hati. Yang tanpa sadar, membuat orang menjadi technophobic, menganggap semua teknologi terbaru, apapun itu, pasti baik.

Saat kita sibuk di dunia yang berkomunikasi dengan semakin asynchronous, kemudian ada orang-orang seperti Ahmad. Yang hidup dengan cara berbeda, dan sadar dengan pilihan yang dia buat. Dan akan ada sebagian orang yang menganggapnya nggak bebas, mungkin menyindirnya sesekali untuk membuatnya terlihat kuno.

Ahmad nggak sempurna. Tapi kita akui satu hal: dia berusaha menjalani hidup yang bisa memberi makna. Ada tujuan yang sedang dia raih. Gambaran mental yang ada dalam pikirannya, untuk membuat hidupnya bermanfaat, untuk setiap orang yang hidupnya dia sentuh.

Kita masing-masing punya rencana pribadi. Kapan S2, kapan punya rumah, apa cita-cita yang ingin kita kejar. Apa pengalaman yang ingin kita dapat. Lalu membuat rencana satu tahun, dua tahun, lima tahun.

Itu bagus.

Tapi apakah itu cukup? Apa itu yang esensial?

Melihat Ahmad, membuat saya teringat sebuah pelajaran penting. Saat kita berusaha mempunyai hidup yang bermakna, kita nggak membuat rencana bulanan, atau tahunan, atau sekedar membuat list untuk itu. Kita membuat rencana harian. Bagaimana kita bangun pagi, apa yang kita lakukan saat berbelanja, sampai dengan bagaimana kita tidur.

Hidup berarti bagi manusia karena ini adalah sebuah cerita, tentang diri kita, dan apa yang kita bawa.

Tapi, jenis cerita apa yang ingin kita tulis? Dan ketika kita tidak bisa lagi melanjutkan cerita itu, apa kita sudah menulis akhir yang bagus?

Be the first to know when I create something new.
Join my newsletter.