Seni dalam Dialog tentang Berjalan dan Menyepi

by: Anas, M Nasrurrohman

"…an undeniable truth: that in the pursuit of knowledge, slower can be better."    

— Gleick, James (2011), The Information

Setiap yang orang yang suka menyempatkan waktu untuk sendiri, punya cerita masing-masing. Bagiku, itu dimulai pada sebuah sore.




Hari itu di usai adzan ashar yang teduh di koridor selatan kampus, empat tahun yang lalu. Beberapa orang masih terlihat berjalan-jalan disekitar koridor gedung, sebagian lagi terburu-buru berlari mengejar bus yang akan lewat.

Bagian barat kota Bogor punya caranya sendiri untuk membuat aku merasa ada di rumah. Wilayah yang agak jauh dari perkotaan, dengan pemandangan hijau yang lebat, juga lapangan luas yang membentang di beberapa titik sekitar kampus.

Mayoritas fakultas satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh jarak beberapa ratus meter, harus ditempuh melewati sekitar kawasan rimbun pepohonan, atau jalan-jalan kecil yang memisahkan kebun di sekitarnya. Beberapa jalan setapak bahkan lebih sunyi dibanding yang lain.

Salah satu kebiasaanku mengisi waktu jeda dari satu jam kuliah ke jam kuliah lainnya adalah dengan berjalan di kampus. Dari fakultas FMIPA sampai ke sebuah warung kecil dekat asrama internasional di tengah-tengah kampus. Dari ujung paling luar dan padat di IPB, melewati Masjid Al Hurriyah, lalu memesan teh hangat di sebuah kantin kecil sekitar situ. Biasanya ketika disana, aku akan duduk di dekat jendela, dan mengerjakan tugas kuliah sambil melihat semak-semak tinggi yang tertiup angin.

Aku anggap itu sebagai bentuk walking meditation. Dan yang juga jadi alasan kenapa aku suka essay-essay Henry David Thoreau, atau memoir Haruki Murakami tentang kegemarannya berlari. Saat itu aku rasa, punya waktu untuk diri sendiri, in solitude, itu penting. Dan berjalan memungkinkan kita punya waktu untuk bermain dengan ide, mengeksplorasi konsep, dan melakukan kesalahan tanpa mengkhawatirkan orang lain untuk tahu bagaimana pikiran-pikiran itu dibentuk.

Banyak orang hanya melakukan sesuatu sesuai pikiran pertama yang terlintas, padahal intuisi pertama yang muncul itu seringkali bukan yang terbaik. Kita perlu waktu untuk berpikir lebih lama, dan menjaga waktu itu sekuat tenaga untuk tidak terganggu, setiap hari.

Kita sepakat tentang salah satu karakter manusia yang paling erat, bahwa kita adalah makhluk sosial. Tapi aku juga merasa hubungan paling erat atara dua orang manusia salah satunya adalah, saat mereka bisa saling mengerti dan menjaga waktu solitude masing-masing.

Solitude terjadi dalam banyak bentuk. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari operasi sulit di ruang laboraturium, ada dalam keadaan solitude. Seorang tukang kayu yang sedang merancang alat di garasi rumahnya, ada dalam keadaan solitude. Seorang Newton yang sedang berjalan-jalan di kebun apel-nya di sebuah sore dan berpikir, ada dalam keadaan solitude. Seorang anak balita yang sedang mengelompokkan kumpulan butir kelereng berdasarkan warna dibawah kolong meja rumahnya, ada dalam keadaan solitude.

Solitude juga bisa saja terjadi di sebuah kerumunan ramai. Seorang siswa yang sedang mengerjakan PR-nya di sebuah kantin sekolah yang ramai, dalam keadaan yang sama dengan seorang Da Vinci yang membedah tubuh manusia sedirian di malam hari untuk meneliti warna yang pas pada lukisan Monalisa-nya.

Solitude adalah salah satu hal yang kita tidak bisa tahu manfaatnya sampai kita mencobanya sendiri. Tanpa langsung melakukannya, sulit untuk tahu seberapa berpengaruh momen ini hingga layak untuk diperjuangkan. Di dunia yang semakin bising, betapa sering kita lupa bahwa saat-saat seperti inilah yang membentuk seseorang. Seiring waktu berjalan, generasi dari generasi pun berganti, membawa perubahan dengan caranya sendiri. Membawa tantangan unik tentang bagaimana kita seharusnya bersikap. Dan bagaimana kita melihat.

Apa perubahan yang populer ini, membawa kita jadi lebih baik? Atau memang kita memilih untuk mengabaikan pilihan lain yang ada? Lalu menerima apapun yang waktu akan bawa, dan yang orang lain ingin kita lakukan?

Aku masih berjalan di sekitar kampus. Kali ini aku ada di sepanjang koridor perpustakaan pusat.

Siesta, Christoph Niemann
Siesta, Christoph Niemann

Sesekali aku kembali melihat langit, memastikan tidak mendung. Awan-awannya bersahabat, cukup untuk membuatku berubah pikiran. Sore itu akan sedikit berbeda. Sesampainya di jalan asrama, aku berjalan lurus ke sebuah bukit kecil diantara perkebunan. Lalu mengeluarkan buku klasik Ralp Waldo Emerson “ Self Reliance” dari dalam tas, mencari pohon paling rindang disana, dan duduk di bawah sambil membaca. Pikiranku berpetualang, memulai dialog.

Tentang Mencegah dan Mengobati

Bayangkan waktu membawa kamu kembali ke umur 10 tahun. Saat kamu dan teman dekat kamu tinggal berseberangan. Jendela kamarmu bahkan saling berhadapan langsung dengan jendela kamarnya. Setiap malam, setelah ibu kamu menyuruh tidur dan mematikan lampu, kamu masih ingin bermain. Tidak ada yang salah dengan itu. Impuls untuk berkomunikasi memang salah satu karakteristik manusia.

Walau lampu kamar sudah dimatikan, kamu dan teman kamu masih bisa saling melambai-lambaikan tangan lewat jendela dan, menggunakan gesture dan berbagai gerakan tubuh yang bisa kamu buat untuk berkomunikasi. Yang mengartikan sebuah makna tentang sesuatu atau pesan. Tapi beberapa hal terasa sulit untuk disandikan dengan gerakan tangan. Dan ketika orang tua kamu kembali dan menegur, “Matikan lampunya!”, situasi jadi semakin sulit.

Selanjutnya, bagaimana caranya berkomunikasi? dengan telepon mungkin? apa kamu punya telepon di kamarmu saat umur 10 tahun? kalaupun ada, saat kamu mengobrol pasti bisa terdengar dari luar.

Apa yang kamu dan teman kamu punya adalah, sebuah senter. Tentu saja, karena semua orang tau senter ditemukan untuk bisa membuat anak-anak membawa buku dibawah selimut; senter juga sepertinya benda yang cocok untuk bisa dijadikan alat komunikasi saat gelap. Benda ini tidak menimbulkan bising, dan cahayanya satu arah dan bisa dipindah-pindahkan, tidak akan membuat orang tua kamu terbangun.

Kita melakukan banyak eksperimen semacam itu sewaktu kecil.

Banyak orang setuju Warrent Buffet adalah salah satu investor legendaris. Kerajaan bisnis yang dia bangun, Berkshire Hathaway, bernilai $355 milyar, meningkat 1.826.163 Persen sejak dia mengambil alih di tahun 1964. Warren Buffet adalah pemilik (atau punya bagian besar dari) beberapa brand terkenal di dunia seperti Geico, Dairy Queen, Netjets, setengah dari Heinz, dan pemegang saham yang signifikan di beberapa perusahan seperti American Express, IBM, Dan Wells Fargo.

Tapi dari semua itu, investasi terbaik yang Warrent Buffet miliki adalah sebuah benda yang tidak begitu mahal, sebuah buku. Dan memang ia adalah seorang kutu buku kelas berat.

Pernah di suatu saat, ia diminta nasihat oleh beberapa mahasiswa pasca sarjanan dalam sebuah kuliah umum di Stanford Univeristy. Warren Buffet menjawab tanpa ragu. Ia bilang bahwa ada satu hal yang bisa mereka lakukan tapi itu akan sulit, sambil memperlihatkan sebuah tumpukan buku ia berbalik ke para mahasiswa dan bilang, “Membacalah 500 lembar setiap hari.”

Kalau bagi mahasiswa pasca sarjana Stanford Univeristy membaca 500 lembar sehari itu sulit, tidak salah rasanya berasumsi bahwa itu juga akan sulit dilakukan oleh kebanyakan orang. Mayoritas orang mungkin hanya membaca beberapa menit dalam sehari.

Lebih dari sekedar mengisi waktu luang atau hobi, Warren Buffet menganggap baca buku adalah bagian dari pekerjaan rutin hariannya. Kebutuhan yang tidak boleh dilewati.

Dalam surat-nya untuk pemegang saham Bershire Hathaway di tahun 1993, Warren Buffet bilang bahwa sebuah buku, “ The Intelligent Investor”, yang ditulis oleh mentor-nya Benjamin Graham, adalah.. “ of all the investments i ever made… (it) was the best.” Warren Buffet bahkan sampai menamakan salah satu anak lelakinya dengan nama si penulis, Graham.

Sulit untuk menyangkal bahwa buku bisa jadi salah satu penemuan manusia terhebat. Orang-orang yang berkontribusi atas kemajuan dunia, yang membawa kita ke titik ini, banyak yang menjadikan buku sebagai mentor pertama mereka.

Michael Faraday, misalnya. Jauh sebelum ia menjadi ilmuwan berpengaruh hingga dianugrahi sebuah mendali penghargaan dari Royal Society, Michael Faraday kecil adalah seorang anak dari keluarga tak terpelajar dan kekurangan. Hanya pernah menempuh pendidikan dasar, selanjutnya Michael Faraday harus belajar secara otididak untuk bisa melanjutkan pendidikan. Pada usia empat belas tahun ia memutuskan untuk bekerja sambil belajar pada seorang penjual buku lokal di Blandford Street.

Blandford Street
Blandford Street

Di sela-sela pekerjaannya, ia membaca banyak buku. Yang paling mempengaruhinya adalah buku The Improvement Of The Mind karya Isaac Watts. Faraday dengan antusias menerapkan prinsip dan saran yang terkandung di dalamnya. Buku itu memotivasi dirinya untuk memulai petualangan dalam berbagai eksperimen sains. Sebuah inisiatif menggebu yang saat itu asing. Ambisi yang nanti membawanya menjadi salah satu ilmuwan paling dihormati.

Setelah ia berada di puncak karir, Faraday menulis dua volume buku berjudul Experimental Researches In Electricity, buku yang membuat seorang anak — juga bukan dari latar belakang keluarga ilmuwan — bernama Thomas Alfa Edison, tertarik dengan sains. Buku Faraday ini memberi Edison sebuah pendekatan sistematis untuk mempelajari sains dan sebuah program bagaimana belajar mandiri dalam bidang yang akhirnya membuat dia terobsesi: Listrik.

Buku juga manifestasi dari bagaimana pengetahuan yang kita punya bisa tersimpan, diarsipkan, dan ketika dibutuhkan — memberi input berarti untuk memformulasikan solusi dari masalah yang semakin bervariasi.

Apapun problem yang sedang kamu hadapi, atau tantangan yang sedang kamu tuntaskan, kemungkinan seseorang di masa lalu sudah pernah mengalaminya, dan melakukan sesuatu untuk menyelesaikannya. Entah dengan hasil yang sangat baik — atau buruk — lalu perjalanan itu diabadikan dalam lembaran-lembaran catatan yang bisa kita baca sekarang. Bisa kamu miliki hanya dengan harga yang sama dengan satu paket porsi makan siang.

Ada banyak orang yang pernah hidup sebelum kita, jauh lebih banyak dari yang saat ini masih bernafas. Orang-orang dengan kepribadian, pun dengan masalahnya masing-masing.

Orang yang pernah gagal berbisnis, orang yang merantau puluhan ribu kilometer ke negeri seberang, mereka yang berhenti dari sekolah, atau memulai bisnis. Mereka yang awalnya miskin lalu menjadi kaya atau sebaliknya, yang tadinya bodoh nan direndahkan menjadi terpelajar dan dihormati, orang yang suka berkelahi dan bermasalah, orang yang masuk militer karena paksaan lalu berubah pikiran, atau sekedar orang-orang dengan kumpulan kegelisahan kecilnya sama dengan yang kita hadapi sehari-hari.

Kesibukan adalah sebuah candu. Dan bukan sesuatu yang mengagumkan untuk dipamerkan.

Sesekali pulanglah lebih awal, lalu pergi ke sebuah bukit. Lihat dari ketinggian indahnya matahari terbenam. Yang perlahan memberi radiasi kuning dan oranye, menyelimuti lapisan sejauh mata memandang. Simak narasi apa yang sedang kamu saksikan. Bawa cerita itu pada diri kamu sendiri, sebagai hadiah bahwa kamu menyadari, saat-saat itu tidak lama. Keindahan alam yang bersinar, membuat pikiran-pikiran dalam kepala tak terbendung lagi. Dan kamu harus rela, bahwa satu hari baru saja berlalu.

Itulah waktu yang kamu punya untuk menulis cerita dalam sisa waktu yang kamu punya. Kamu harus mengupayakan apa yang membuat hatimu hidup. Dan semoga suatu saat bisa melihat saat-saat tenggelamnya matahari dengan senyum lega, dikala senja sekali-sekali menyapa kembali.

Bahwa kamu sudah berusaha, bahwa hidup kamu punya arti. Bahwa ada warisan yang kamu tinggalkan.

Ada terlalu banyak hal di kehidupan ini, pertanyaan-pertanyaan, tantangan, dan dengan problematika yang beragam. Saking banyaknya, tidak akan cukup untuk menyelesaikan itu semua dengan cara trial & error oleh satu orang, dalam waktu satu kehidupan saja. Kita perlu belajar dari orang-orang yang pernah menyelaminya, mengambil petunjuk dari sana, dan membentuk dari situ kumpulan mental model , prinsip-prinsip yang bisa kita gunakan untuk diri kita. Panduan untuk bisa membuat kita lebih bijak dalam membuat sebuah keputusan.

Kita memang harus berdiri di pundak raksasa agar bisa melihat lebih jauh.

Supaya kita bisa menggunakan sisa waktu hidup yang ada untuk hal yang lebih penting: Menemukan solusi yang kreatif, menggali potensi diri, mendorongnya sejauh mungkin, dan dalam perjalanannya bisa membantu banyak orang. Membuat dunia sedikit lebih baik sebelum kita meninggalkannya..

Kabar baiknya, apapun problem yang sedang kamu hadapi sekarang kemungkinan sudah pernah dituliskan solusinya dalam sebuah buku, di suatu tempat, oleh seseorang yang kemungkinan lebih pintar dari kamu. Dan tidak jarang itu ditulis dari sudut pandang orang pertama.

Yang tinggal kita lakukan adalah, membacanya.

Aku ingat iklan layanan masyarakat awal tahun 2000-an tentang 3 langkah mencegah penyakit demam berdarah. Jargonnya masih terngiang jelas, “karena mencegah lebih baik daripada mengobati". Dan memang, mencegah itu lebih baik dari mengobati. Bahkan sebenarnya, mencegah bukan hanya lebih baik dari mengobati, mencegah itu seribu kali lebih baik daripada mengobati. Dan ini berlaku dalam semua hal.

Itulah kenapa belajar itu harus selalu jadi prioritas, baik dari pengalaman diri sendiri, orang lain, atau dari orang-orang cerdas yang telah mendahului kita. Dan itu juga mengapa pengetahuan adalah kekuatan, dengan pengetahuan kita bisa melihat lebih banyak pilihan yang ada.

Membuka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup dan tidak bisa kita lihat. Membaca adalah salah satu kuncinya, dan buku adalah pelitanya. Pelita yang membuat jalan lebih terang saat kita melangkah, keping-keping yang membuat setiap keputusan kita yang kita buat, bisa lebih baik.

Pilihan

“I don’t want to be a great problem solver. I want to avoid problems — prevent them from happening by doing it right from the beginning.”

— Peter Bevelin

Bayangkan kamu sedang duduk dan bermain dalam sebuah meja poker.

Kamu dihadapkan dengan kartu-kartu sama seperti orang lain, dan semuanya bermain dengan aturan yang sama. Hanya saja, kamu punya satu keuntungan: Kamu bisa melihat kartu-kartu milik orang lain, sementara mereka tidak. Kira-kira, seberapa banyak kemungkinan kamu akan bermain dengan mengambil langkah yang salah? Dan seberapa besar orang lain akan cenderung melakukannya?

Begitu pula yang terjadi di dunia nyata, kemungkinan untuk mendapat hasil terbaik mengambil keputusan dalam hidup dan bisnis adalah: Orang yang punya blindspot paling sedikitlah yang akan menang.

Ini artinya untuk bisa berhasil, seseorang atau organisasi harus meningkatkan keahlian membuat keputusan yang benar, dan mengeksekusinya dengan percaya diri, setiap waktu. Yang dengan cara itu, mereka bisa menghindari banyak masalah.

Coba pikirkan sejenak situasi hidup yang sedang kamu jalani saat ini, baik karir, bisnis, hubungan pribadi -- atau apapun yang menurut kamu penting.

Seberapa banyak keputusan penting yang sudah kamu buat, dengan melihat implikasi yang akhirnya didapat? Berapa banyak keputusan yang sudah kamu buat hari ini? Berapa banyak dari semua itu yang benar-benar esensial?

Tipe-tipe keputusan yang kita buat sehari-hari tentu bervariasi. Sebagian besarnya — seperti memilih mau beli bakso atau mie ayam, adalah tidak penting. Konsekuensinya pun tidak signifikan. Tapi dalam hidup, ada waktu-waktu kita harus membuat beberapa keputusan dari pilihan-pilihan sulit, keputusan yang sangat penting dan berpengaruh besar. Beberapa kadang membuat kita takut. Tentang memilih siapa orang yang kita percaya, gaya hidup apa yang kita pilih, barang apa yang mesti dibeli, dan menikah dengan siapa.

Hasil dari keputusan ini akan membekas selama bertahun-tahun, mempengaruhi porsi besar dalam hidup. namun tidak banyak dari kita yang bisa mengatakan sepenuhnya siap untuk memaksimalkan pilihan-pilihan tersebut.

Pun ingat, beberapa keputusan kecil bisa menjadi besar saat diakumulsi. Misalnya menentukan dimana kamu makan siang hari ini, adalah hal kecil dan tidak signifikan yang kita tentukan sehari-hari. Dalam jangan pendek, seminggu atau sebulan, keputusan-keputusan ini punya sedikit pengaruh, hanya sebesar satu gempalan salju. Hanya terasa lebih dingin, dan tidak begitu sakit saat terkena lemparannya. Namun seiring berjalannya waktu, dari bulan-ke-bulan lalu akhirnya bertahun-tahun. Lambat laun kamu akan merasakan pengaruhnya, dan dia akan datang dalam bentuk bola salju besar sebagai konsekuensi dari banyaknya keputusan buruk yang kita ambil.

Inilah alasan mengapa banyak orang-orang cerdas mencoba membuat sedikit mungkin keputusan. Mereka pergi ke restoran yang sama setiap harinya, makan makanan yang sama, memakai pakaian yang sama. Mereka mengurangi sebanyak mungkin pengambilan keputusan yang sifatnya trivial, sehingga sisa waktu yang ada bisa digunakan untuk fokus dalam membuat keputusan-keputusan yang esensial dan berpengaruh. Mereka tahu bahwa karakter seseorang pada hakikatnya terbentuk dari akumulasi keputusan yang mereka buat - dan mereka ingin membuat keputusan yang tepat setiap saat.

Dalam pekerjaan kita saat ini di era knowledge economy, banyak pengambilan-pengambilan keputusan seperti itu dibutuhkan: Menentukan mau mengambil sebuah jabatan atau tidak, proyek mana yang akan kamu investasikan, teknologi apa yang mau didalami, sampai mengambil keputusan untuk bekerja sama dengan seseorang atau tidak. Keputusan-keputusan ini membentuk hidup yang kita jalani. Dan tidak jarang juga mempengaruhi orang lain, atau bahkan membentuk sejarah.

“I regard it as a criminal waste of time to go through the slow and painful ordeal of ascertaining things for one's self if these same things have already been ascertained and made available by others.”

— Thomas Edison

Problemnya adalah bahkan orang-orang yang sangat pintar pun kadang buruk dalam mengambil keputusan. Coba lihat beberapa contoh yang pernah ada:

Dan ribuan keputusan-keputusan lainnya yang pernah terekam sejarah manusia..

Hal-hal diatas adalah keputusan-keputusan yang sangat fatal, dibuat oleh orang-orang yang, saat itu punya posisi berpengaruh. Mereka dipercaya sebagai pembuat keputusan yang handal.

Ada banyak alasan kenapa kita kadang membuat keputusan yang buruk: Bahwa kita tidak se-rasional yang kita pikirkan, bahwa kita kadang tidak siap untuk membuat keputusan, atau karena kita belum mengambil cukup banyak informasi yang kita butuhkan untuk dipertimbangkan.

Faktor-faktor yang bisa dicegah dengan kalau kita bisa mengenal lebih baik bagaimana dunia yang kita tinggali bekerja, mengenal lebih baik tentang diri kita, dan berusaha membacanya dengan sedikit mungkin kesalahan.

Dan untuk bisa melihat sesuatu seperti dengan apa yang memang sebenarnya, bukan dari ilusi yang lingkungan radiasikan.

Untuk bisa melihat dengan jelas, kita perlu tahu apa yang membuat penglihatan kita buram.

2004

Saat aku memilih SMP waktu kelas 6 SD dulu, orang-orang dewasa banyak yang membujukku masuk sekolah-sekolah paling populer, SMP Negeri paling favorit. Sesungguhnya saat itu aku tidak peduli, yang aku mau hanyalah sekolah dengan perpustakaan. Asal ada perpustakaannya, itu sudah cukup.

Sekolahku saat SD dulu saat itu tidak punya perpustakaan. Setidaknya tidak sampai aku bertanya pada bapak penjaga sekolah, dan menemukan sebuah gudang berdebu yang isinya buku-buku. Dulu itu adalah sebuah perpustakaan, entah kenapa ruang itu akhirnya dirubuhkan dan diganti jadi gudang serba guna.

Aku mengajak beberapa teman yang lain untuk “berpetualang” di gudang itu, dan membuatnya terdengar seperti permainan heroik untuk membuat mereka tertarik bergabung. Dari dalam gudang, kami menemukan setumpukan kardus bertumpuk. Semua berisi buku-buku klasik. Hari itu aku membawa lima buku, salah satunya adalah biografi Marie Curie. Aku tidak bisa lepas dari buku itu selama seminggu kedepannya. Gudang berdebu itu, jadi ruangan favoritku di sekolah.

Saat ibu guru bilang aku sebaiknya memilih SMP Negeri 1 Bogor, aku hanya bertanya, “Ada perpustakaannya tidak disana bu?”. Sepertinya ia tahu kenapa aku bertanya, dan ia pun menjawab, “Paling bagus, dari semua sekolah yang lain”. Aku mengembalikan formulir pilihan SMP saat itu juga.

Pilihan yang membuat banyak perubahan signifikan dalam tahun-tahun setelahnya.

Tahun 2004 tentu berbeda dengan tahun 2018. Beberapa prediksi tentang masa depan cukup populer. Tentang akan ada orang pertama yang mendarat di planet Mars, atau perangkat-perangkat elektronik yang semakin kecil dengan performa berkali lipas lebih baik. Dan semua orang bisa punya akses komunikasi yang instan dengan siapapun di dunia.

Tapi sedikit yang bisa menduga bahwa perubahan ini bisa juga mengubah bagaimana sebuah generasi berkembang.

Di saat dimana semua orang dalam keadaan super-connected, anak-anak yang tumbuh dalam situasi ini akan berkembang menjadi pribadi yang kurang inisiatif, lebih toleran, cenderung kurang bahagia -- dan sangat tidak siap untuk menghadapi masa dewasa nantinya.

Jean M. Twenge, PhD saat menulis pembukaan dalam bukunya “iGen”, memperkenalkan contoh seorang anak perempuan umur 13 tahun bernama Athena, dan mencoba memahami tren remaja saat ini dalam bergaul. Ia melihat dengan seksama saat Athena bercerita kegiatan sehari-harinya. Mulai dari jalan-jalan di mall dengan ibunya, disaat yang sama harus check in di social media, hampir setiap jam. Melihat bagaimana ia berkomunikasi lebih sering dengan teman-temannya lewat smartphone ketimbang secara langsung. Lebih sering menghabiskan liburannya di kamar menonton Netflix ketimbang menggunakannya untuk hal produktif. “ We didn’t have a choice to know any life without iPads or iPhones. I think we like our phones more than we like actual people.” Ucap anak yang sama.

Ini adalah gambaran generasi yang selanjutnya Jean definisikan sebagai generasi iGen: Lahir di tahun 1995 dan setelahnya, mereka mayoritas tumbuh dengan telepon selular, punya halaman instagram sebelum masuk SMA, dan kemungkinan tidak ingat ada masa sebelum internet. Dan ini bukan hanya terjadi dalam keluarga dengan ekonomi menengah keatas, keluarga yang pendapatannya relatif lebih rendah pun sekarang menghabiskan sama banyaknya waktu untuk itu. Smartphone menjadi boneka teddy bear mereka di dekat bantal kamar. Hal terakhir yang mereka lihat sebelum tidur dan yang pertama mereka sentuh saat bangun pagi.

Tapi Information Technology dan pop culture bukan hanya faktor perubahan yang membentuk generasi ini. Mereka juga ada di barisan terdepan dari krisis kesehatan mental terburuk dalam dekade terkahir ini, dilihat dari tajamnya depresi dan bahkan bunuh diri saat remaja yang meningkat sejak 2011. Saat kenyamanan dalam ketidakaktifan menjadi hal yang membuat mereka semakin aman, itu juga yang membuat mereka tumbuh lebih lambat. Anak umur 18 tahun sekarang bertingkah seperti anak umur 15 tahun, dan anak umur 13 tahun seperti anak umur 10 tahun. Anak-anak remaja sekarang secara fisik ada dalam lingkungan yang jauh lebih aman dibanding generasi-generasi sebelumnya, membuat mereka secara mental jauh lebih rapuh.

Kebanyakan anak dari generasi iGen menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya di media online. Anak kelas 8 SMP misalnya menghabiskan 1.5 jam sehari untuk chatting, 1.5 jam untuk media sosial, 1.5 jam bermain game, dan setengah jam untuk video chat. Sisa satu setengah jam setelah pulang sekolah dipakai untuk nonton TV, yang rata-rata remaja akan tonton dua jam sehari.

Hmm, melihat ada yang aneh? Mereka punya lebih dari 24 jam sehari, bagaimana bisa? Tidak, mereka melakukan semua itu secara multi-tasking.

Mengapa ini bisa terjadi?

Mungkin karena buku tidak cukup cepat. Bagi generasi yang tumbuh untuk “mengklik link selanjutnya”, atau “scroll ke halaman selanjutnya” dalam hitungan detik, buku-buku menjadi tidak lagi jadi perhatian mereka.

Sementara sebagian besar konten internet adalah kumpulan informasi yang sama, diulang lagi dan lagi dalam bentuk yang sedikit berbeda.

Melihat fenomena ini, menjadi tidak heran kalau semakin hari, membaca buku jadi terlihat semakin langka dan ditinggalkan.

Menurut data dari studi Most Littered Nation In The World oleh Central Connecticut State University pada maret 2016 lalu, minat baca anak-anak Indonesia itu berada di urutan 62 dari 65 negara.

Aku rasa satu hal yang bisa kita sepakati bersama adalah, saat ini orang punya jauh lebih banyak pilihan untuk mengisi waktu luangnya. Pilihan yang lebih adiktif, dekat, mudah diakses, dan mudah dikonsumsi.

Kombinasi attention span yang rendah dan ketergantungan dengan media sosial melahirkan bentuk konten baru yang lebih mudah populer. Satu industri baru lahir dari kebiasaan ini. Konten yang yang lebih singkat, yang lebih mudah dan menarik untuk dibaca. Biasanya dibumbui dengan judul-judul yang mengundang untuk diklik, dan membuat kita semakin haus untuk menggali. Dan disaat yang sama aplikasi yang menyediakan data itu menyuplai dalam kuantitas seakan tak terbatas, yang tidak mungkin untuk bisa dikonsumsi semua.

Konten yang menang dan muncul ke permukaan biasanya bukan hasil dari kualitas riset mendalam dan dinarasikan dengan argumen yang kuat, tapi cukup yang menarik untuk merangsang emosi kita -- untuk marah, untuk kesal, dan akhirnya membagikannya dalam social circle kita. Lalu siklus yang sama selanjutnya terjadi secara berantai.

Dawn

Aku suka bangun sebelum subuh, sebelum yang lainnya, sebelum burung-burung, sebelum matahari. Lalu menyeduh secangkir teh hangat, lalu duduk dan mencatat beberapa hal menarik dari buku yang sedang aku baca.

Sepulang sembahyang subuh, aku akan bersiap mengambil satu botol air mineral, lalu mengambil kaus kaki dan sepatu lari warna biru yang selalu aku pakai. Lalu perlahan, membuka pintu dan keluar kamar untuk melihat apakah aku bisa berlari lebih cepat dari kemarin.

Kota jakarta yang selalu padat itu, di jam 5 pagi masih seperti kota mati. Tidak ada orang berlalu, kendaraan yang lewat pun hanya sesekali terlihat, tidak ada suara anak-anak berteriak sambil menendang bola di lapangan sebelah.

Suasana seperti ini, yang membuat momen di pagi hari sangat berharga. Untuk sejenak menikmati kesunyian dan meninggalkan padatnya siang hari.

Dunia yang kita tinggali saat ini bukan hanya dikelilingi oleh informasi yang terlalu banyak, tapi juga opini yang terlalu banyak. Information Overload dan Opinion Overload adalah dua benda yangf berbeda.

Informasi-informasi ini, yang biasa kita konsumsi di internet ibarat gudang data yang tidak terbatas, hampir tentang semua hal. Kita mempunyai akses ke gudang data raksasa. Dan jumlah data yang begitu banyak membuatnya ada dititik dimana itu menjadi toxic.

Dalam bisnis dan membuat keputusan ekonomis, adanya terlalu banyak data mempunyai efek samping. Semakin banyak kita melihat informasi, semakin banyak noise yang kamu akan temui, dan antara signal — informasi signifikan yang memberi arti — dengan noise dari informasi-informasi tidak relevan, rasionya menjadi semakin jauh. Ini yang terjadi kalau kita hanya mengandalkan media berita media online yang tidak reliable. Dimana konten dirancang untuk menjadikan respon emosional pembaca menjadi metrik utama.

Di jagat maya, ada terlalu banyak noise yang bisa lahir dari newsfeed dan media outlet online yang berisi kumpulan anekdot. Inilah salah satu alasan yang membuat hidup kita semakin hari semakin mirip dengan virtual reality, terpisah dari dunia nyata. Dan ini terjadi sedikit demi sedikit, disaat kita pun tidak menyadarinya.

Akibatnya, kita semakin mudah untuk bereaksi berlebihan terhadap noise bukan terhadap signal — informasi-informasi yang kita butuhkan, yang relevan untuk membuat kemampuan kita dalam mengambil keputusan berkembang.

Tidak ada yang salah dengan teknologi, tapi sentimen dan cara kita memperlakukannya yang harus berubah.

Ambil waktu sejenak, dan lihatlah media-media yang kamu biasa konsumsi. Social media, online news, gossip. Ada begitu banyak noise, di beberapa waktu kadang terlalu banyak dari yang seharusnya.

Dan tidak peduli sebanyak apapun kamu meng-klik, buka tab baru, atau cek email dari kumpulan informasi-informasi “menarik”, mereka justru terlihat tidak berkurang. Volumenya terus bertambah.

Mari kita coba jawab pertanyaan yang selama ini kita hindari: Apa memang kalau tidak ada sepanjang waktu di depan layar, kita akan kehilangan berita penting?

Sepertinya tidak. Kecuali kalau kamu pindah dan tinggal di puncak gunung tak berpenduduk. Berita yang krusial akan menemukan caranya sendiri untuk bisa akhirnya sampai ke telinga kita. Mungkin saat kamu makan siang dengan seorang teman, atau saat menunggu rapat dimulai dan orang-orang mulai bergosip.

Tapi media akan selalu mendoktrin, kita harus tahu semuanya. Dan lebih dari itu, orang-orang seakan perlu tahu secara real time. Ini seperti keadaan dimana kamu balapan dengan teman-teman kamu untuk melihat siapa yang akan menemukan berita terbaru paling dulu, dan membagikannya pertama kali.

Well, that's a race I don't want to win.

Yang tidak banyak orang sadari adalah bahwa sumber berita itu, media sosial yang mereka pakai sepanjang waktu, dan membuat mereka adiktif.. adalah hanya sebuah perangkat. Alat yang didesain oleh ratusan engineer di belakangnya yang menjadikan interaksi dengan produk mereka sebagai tolok ukur keberhasilan. Kalau newsfeed Facebook atau Twitter selalu terlihat menggoda untuk dibaca dan di- scroll, itu karena dengan sengaja memang sudah di-desain seperti itu.

Membaca newsfeed, gosip, atau berita singkat click-bait tidak perlu kemampuan membaca aktif, bahkan tidak perlu kemampuan berpikir apapun. Berbeda dengan sebuah buku yang bagus, yang ditulis oleh seorang spesialis yang seumur hidupnya meneliti tentang satu hal, lalu merampungkan semua pemikirannya dalam satu narasi yang sistematis. Hasilnya adalah sebuah karya seni. Karya seni yang bisa dinikmati dengan total oleh pembaca yang aktif.

Orang-orang yang membaca sambil membuat pertanyaan, memikirkan alternatif lain dalam sebuah argumen, menanyakan asumsi yang ada, dan bahkan pertanyaan-pertanyaan pada penulisnya itu sendiri.

Dan itulah kenapa, membaca buku berbeda dengan membaca artikel online di Buzzfeed. Notifikasi media sosia dan artikel pop kultur di internet adalah noise; tapi membaca buku yang bagus dan membacanya dengan aktif, adalah signal.

Beberapa waktu lalu di acara New Yorker Techfest 2017 conference, superstar Apple Designer, Jony Ive naik ke panggung. Saat presentasi, Ive ditawari sebuah pertanyaan yang cukup “menjurus”. Pertanyaan itu adalah tentang bagaimana iPhone telah mengubah perilaku keseharian orang-orang di seluruh dunia. Jawaban Ive cukup menarik: “ Like any tool, you can see there’s wonderful use and then there’s misuse.

Dan ketika ditanya apa yang ia maksud dengan “ misuse”, Ive menjawab: “ Perhaps, constant use.

Fakta bahwa Jony Ive, orang yang mendesain iPhone itu sendiri, khawatir tentang cara orang menggunakan karyanya, memberi penekanan yang penting: Ada sesuatu yang salah tentang bagaimana hubungan kita dengan penggunaan teknologi saat ini.

Lingkungan kita cenderung technophobic, orang-orang cepat menerima apapun yang baru dan terlihat canggih, lalu membuat gagasan bahwa perilaku kita pada akhirnya mengecek mobile device dengan konstan adalah normal. Dan di beberapa saat kita menertawai diri kita sendiri tentang bagaimana teknologi mengubah cara kita melakukan sesuatu yang esensial dalam hidup. Seperti mengisi waktu luang, bersosialisasi, melakukan sesuatu dengan fokus tertentu, dan lain-lain.

Lupa bahwa kita sebenarnya punya pilihan lain, yaitu untuk tidak menerima kondisi ini.

Dan interupsi konstan itu membuat kita berpikir bahwa tidak ada waktu lagi untuk berkontemplasi atau membaca. Di dunia kita saat ini, perspektif yang dibentuk dibatasi oleh pilihan yang ada. Kita membiarkan diri kita untuk membuat mata terus menempel kebawah, menatap pada layar. Menurutku hilangnya kemampuan dan waktu kontemplasi, dalam skala besar adalah ancaman terhadap cara kita hidup sebagai manusia.

“when we go online, we enter an environment that promotes cursory learning, hurried and distracted thinking, and superficial learning.” - Nicolas Carr

Generasi yang kita bahas sebelumnya dengan sebutan iGen, dimana mayoritas anak-anaknya ada dan hidup bukan karena prinsip dan filosofi yang mereka pegang, tapi karena entertainment, newsfeed, mesin rekomendasi Netflix dan apapun meme yang sedang populer saat itu. Apakah kita akan membiarkan media sosial dan konstan distraksi menghancurkan generasi ini?

Solitude menjadi langka karena iklan dan billboard menampilkan solitude sebagai sesautu yang aneh. Kita seakan harus terus melakukan sesuatu, dan membiarkan perusahaan-perusahaan di Silicon Valley mencatat apa yang kita lakukan setiap langkah, setiap menit, setiap waktu.

Membaca menjadi hal yang semakin langka, dan mungkin perlu kita perkenalkan kembali. Untuk melihat lagi mengapa ini penting, dan merefleksikan hal ini kembali dalam gambaran yang lebih baik.

Saat kebosanan dan waktu luang ini menjadi bahan bakar untuk terus ada dalam keadaan nyaman dan rentan, mereka semakin jauh dari pengetahuan tentang bagaimana menjalani hidup yang seharusnya. Mereka ingin semuanya mudah, dan tidak tertarik dengan hal-hal yang sulit. Menulis novel itu sulit, membuat video berkualitas itu sulit, mencari donasi itu — walau bagus — adalah mudah. Dan dengan situasi yang seterusnya seperti itu, pertumbuhan yang ada hanyalah usia dan besar secara fisik, tanpa membuat diri mereka lebih bijak.

Semangat ingin tahu, semangat untuk bereksperimen dan menemukan sesuatu menjadi hal yang mereka harus latih dengan sangat kuat kalau mereka mau berubah. Kita ada dalam masa dimana orang-orang ingin mendapatkan jawaban mudah dan cepat dari pertanyaan-pertanyaan sulit selama ini. Dan ini adalah sebuah tantangan yang sulit.

Tentang melihat kembali sebuah makna yang lebih baik tentang bagaimana kita memperlakukan waktu luang yang ada. Bagaimana kita benar-benar menjadikannya sebagai leisure time yang memberi diri kita sesautu yang sehat untuk dinikmati, bukan hanya secara fisik tapi juga sehat untuk pikiran dan jiwa. Memberi nilai lebih baik tentang bagaimana waktu yang ada, dan hidup yang kita jalani bisa kembali dalam harmoni. Dan untuk bisa mengambil keputusan terbaik, di tengah dunia yang semakin penuh distraksi.

Saat diri kita tidak punya lagi semangat bereksplorasi, keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru, berada di luar zona nyaman, menantang diri kita untuk beradaptasi..

Saat kita menjauh dari potensi alami sebagai manusia, kita menjadi pribadi yang pasif, yang hanya ada untuk bisa jadi menjadi budak dari waktu yang berjalan. Individu yang tidak bisa menentukan lagi apa yang akan dia lakukan dalam hidup dan membiarkan waktu membawa kemanapun dia akan pergi.

Tanpa daya kreatif untuk berimajinasi dan keinginan untuk berpetualang, kita hanya menanggap kerja sebagai hal yang mekanikal. Dan hidup seakan hanya untuk kesenangan dan kebahagian sesaat. Menganggap bahwa kerja itu membosankan, dan hanya mengandalkan hari libur yang membuat mereka bisa hidup. Mereka mencari kesenangan dan kepuasan diri sebagai sesuatu yang ada di luar karir yang mereka bangun.

Apakah Leonardo Da Vinci, Einstein, Atau Shakespeare bisa berkarya dan menemukan banyak hal karena mereka anggap itu sebagai target kuartal mereka saat itu? Tentu aja tidak. Mereka bisa menghasilkan sesuatu yang besar karena bagi mereka melakukan itu, adalah menyenangkan.

Kita jadi kehilangan kontak dengan panggilan hati, yang membuat kita untuk terus maju dalam hidup. Mereka yang tidak memilikinya akan bisa tetap sukses, tapi pada akhirnya kurangnya keinginan itu akan mengejar dan mempertemukan mereka lagi di masa depan.

Beberapa keahlian dalam hidup — seperti kemampuan untuk fokus, membaca aktif, atau berpikir kritis — memberi nilai guna yang universal. Kita menggunakannya setiap saat, dan memilikinya akan selalu membantu, tidak peduli apapun pekerjaan kamu.

Tapi keahlian itu biasanya tidak mudah untuk dikuasai. Akan selalu ada godaan untuk menunda, dan menganggap kita mungkin tidak membutuhkannya. Dan perlahan, solitude tidak lagi bersahabat dengan kita, disaat ancaman lain pun menyapa.

Malam

Ancaman itu adalah, leisure time yang hilang dan tidak punya waktu lagi untuk berkontemplasi.

Setiap makhluk hidup mempunyai ritme. Bagi kebanyakan spesies yang ada, ritme itu merefleksikan sebuah negosiasi yang terus berlangsung antara tubuh dan lingkungan sekitarnya, antara keadaan diri dan lingkungan. Ada waktu untuk istirahat, waktu untuk berburu, waktu untuk berkembang biak, waktu untuk bersembunyi. Hanya saja untuk kita manusia, yang terjadi lebih kompleks dari itu. Karena kita punya kemampuan untuk membentuk lingkungan dan bahkan mengubahnya; Melalui hukum, sistem ekonomi, politik, atau setidaknya dengan teknologi, kita juga bisa mengontrol ritme dalam hidup keseharian kita.

Dan itu ternyata, di satu sisi, adalah tantangan tersendiri. Kita bisa mengisi waktu sepanjang hari dengan aktifitas yang menyenangkan atau yang selalu membuat kita nyaman tanpa melakukan banyak gerakan fisik dan kerja otak, tapi itu membuat kita merasa cemas dan tidak punya kepuasan mencapai sesuatu. Skenario terburuknya, kita menyerahkan kontrol keseharian hidup kita kepada orang lain -- pimpinan, birokrat, iklan atau marketer. Dan pada akhirnya kita hidup menurut ritme yang diberikan pada kita bukan yang kita pilih sendiri. Kita menari dalam alunan pukulan drum orang lain.

Dan saat itulah kamu akan sadar, bahwa kamu kehilangan solitude, keheningan lembut yang akal pikiran kamu butuhkan untuk bereksplorasi.

Media membombardir kita dengan pesan dan hiburan. Waktu kerja meluber ke waktu senggang. Pusaran sosial berputar lebih cepat. Sampai saat ini, masih ada saat-saat di hari ketika kesibukan mereda dan kecepatan hidup melambat. Kamu akan menemukan diri kamu sendiri terpisah dari teman dan rekan kerja, dan kamu akan dilemparkan kembali ke sumber daya yang kamu punya, pikiran kamu sendiri. Selingan semacam itu bisa memancing perasaan kesepian dan kebosanan. Namun itu juga memberi kesempatan untuk memanfaatkan gagasan, persepsi, dan emosi yang tidak dapat diakses oleh diri dalam bersosial.

Sekarang, waktu-waktu seperti itu hilang. Dengan smartphone di tangan, konektivitas terus berlanjut. Kita berada dalam kerumunan bahkan saat kita sedang dalam keadaan sendiri. Obrolan tidak pernah berakhir; Ritme tidak pernah melambat. Jaringan tanpa henti mungkin terasa menyegarkan, tapi kita berkorban banyak saat kita tidak pernah belajar untuk sendiri dan berkontemplasi. Kesendirian dalam waktu-waktu yang terencana, adalah menyegarkan.

Hal yang sama terjadi ketika kita membaca buku yang bagus, seperti saat kita bersama orang-orang dengan punya frekuensi yang sama. Buku yang tidak hanya menarik untuk dibaca, tapi merangsang imajinasi kita untuk bekerja, membuat otak kita bekerja dan menemukan koneksi-koneksi pada titik-titik yang belum memiliki ikatan, di suatu tempat, di suatu memori, saat kita dalam keadaan solitude.

Ini lebih dari hanya sekedar tentang attention span.

Mungkin tidak mengherankan bahwa studi Dartmouth College yang dirilis pada tahun 2016 menemukan bahwa, ketika kita berfokus pada teks di platform digital, fokus kita menjadi tertimpang terhadap konsumsi rincian konkret dan jauh dari jenis interpretasi esensial yang terkandung di dalamnya. Dari tiga ratus partisipan tes, pembaca yang lebih biasa pada platform digital menjadi kurang mampu untuk menarik kesimpulan atau berpikir secara abstrak.

Beberapa orang punya caranya sendiri untuk dalam keadaan solitude.

Bill Gates, sejak tumbuhnya Microsoft, mengalokasikan beberapa minggunya untuk menyendiri di kabin, membaca dan berkontemplasi. Sebuah kebiasaan yang dia sebut sebagai " Think Week". Warren Buffet sejak tahun 70'an tinggal di rumahnya yang sederhana (untuk ukuran seorang billionaire) di Omaha, Nebraska, dan punya kebiasaan rutin harian yang sama selama bepuluh-puluh taun untuk membaca dalam jumlah yang diatas rata-rata; Salah satu quote terkenal yang pernah dia bilang: " Inactivity can be very intelligent behavior." Seperti halnya George Washington sering tenggelam berjam-jam menaiki kuda favoritnya di sekitar Mount Vernon. Itu hanya sebagaian contoh saja.

Solutide yang kita cari disini, tentu adalah solitude yang produktif, bukan yang dekstruktif seperti kesendirian. Solitude yang mengundang banyak ide baru, yang akan membuat kita berinstrospeksi dan mengerti tentang diri kita, dan membuat kita jadi teman yang lebih baik saat berbaur dan lebih bijak dalam memilih sahabat.

Yang kalau disatukan, ini adalah bahan-bahan utama untuk membangun interior hidup yang kaya. Lari dari kerumunan tidak selalu solitude, solitude adalah resource-- sebuah niche ekologis -- yang di dalamnya berisi buah manis yang bisa dipetik.

Dan itulah mengapa penting untuk menyadari saat resource ini direbut.

Epilog

Pada tahun 1910, Arnold Benner menulis sebuah essay panjang, yang sampai saat ini masih sesekali dicetak ulang dan cukup populer berjudul, “ How to Live on 24 Hours a Day”. Ia khawatir dengan cara orang-orang menengah keatas di Inggris yang terlihat banyak membuang waktu di luar waktu bekerja mereka. Ia bilang, rata-rata orang pekerja di era ini tidak benar-benar hidup, tapi lebih “berkutat dengan random hal”, membuang-buang waktu. Ia menulis essay itu dengan maksud menawarkan sebuah panduan.

Termasuk panduan yang cukup spesifik seperti bagaimana saat kamu baru saja pulang dari rumah:

“You don’t eat immediately on your arrival home. But in about an hour or so you feel as if you could sit up and take a little nourishment. And you do. Then you see friends; you potter; you play cards; you flirt with a book; you note that old age is creeping on; you take a stroll; you caress the piano…. By Jove! a quarter past eleven. You then devote quite forty minutes to thinking about going to bed; and it is conceivable that you are acquainted with a genuinely good whisky. At last you go to bed, exhausted by the day’s work. Six hours, probably more, have gone since you left the office…”

Bagi Bennet, enam jam yang terbuang ini, adalah sebuah tragedi. Seratus tahun yang lalu di Inggris berbeda dengan saat ini kita tinggal. Tapi apa yang Bennet jabarkan mungkin mirip dengan apa yang ditulisan ini aku deskripsikan dengan kegiatan-kegiatan minim esensial.

Interpretasi ini penting, karena ini menggarisbawahi sesuatu yang sering kita lupa: bahwa kecenderungan orang-orang untuk melakukan aktifitas candu yang tak bernilai bukan sesuatu yang baru. Era Victoria di Inggris punya kesamaan dengan Era Millenial saat ini.

Hanya saja ancamannya berbeda, dan dengan skala yang jauh lebih masif.

Tapi ada satu hal yang tetap sama: bahwa belajar untuk menjalani hidup dengan lebih baik, sejak dulu sampai sekarang, adalah sebuah kerja keras.


Aku sedang berada di lantai lima di sebuah kafe di daerah padat Jakarta Selatan. Langit dari luar jendela semakin gelap. Dari kejauhan, siluet oranye matahari terbenam mulai terbentuk.


Dari kejauhan, aku melihat dua orang anak kecil sedang bermain. Mereka memanjat pohon paling besar di lapangan itu. Salah satu dari mereka mengeluarkan dua buah jambu dari kantong celananya dan membagikannya dengan satu temannya. Mereka duduk di ranting yang sama. Sambil sesekali meledek satu sama lain, dan melempar kerikil-kerikil yang bisa mereka raih dengan tangan kecil mereka. Beberapa saat mereka berhenti, dan sama-sama melihat ke arah barat. Menikmati detik-detik matahari bersembunyi.

Kalau keseharian hidup kamu terlihat tidak menarik lagi, jangan salahkan keadaan itu, atau dunia yang memaksa kamu untuk ada di keadaan itu. Salahkan pada diri kamu sendiri yang memilih untuk disana. Salahkan diri kamu sendiri, yang belum cukup kuat untuk menggalinya lebih dalam dan menemukan keindahan-keindahahan yang ada di dalamnya.

Jangan salahkan kehidupan kalau kamu tidak merasa itu punya banyak arti, salahkan diri kamu yang memang belum cukup mampu untuk menuliskan puisi diatasnya.

Setiap orang adalah seniman untuk hidupnya masing-masing. Beberapa dari mereka seniman dengan ide-ide yang gila. Mereka sesekali dalam keadaan solitude untuk bisa menemukannya, sebelum akhirnya keluar dan melakukan sesuatu. Ide-ide gila itulah mengukir dunia yang kita tinggali sekarang. Sejarah itu sendiri, adalah sebuah proses panjang dari runtutan orang-orang dengan ide gila, dan melakukannya. Mereka adalah seniman. Pun begitu juga kita semua.

Dan seorang seniman tidak akan berhenti, menyerah dari keadaan dan dimana tempatnya berada.